Tabloid Rhema.com - Depok adalah salah satu kota satelit Jakarta yang menjadi rumah bagi sekitar 2 juta penduduk. Wilayah yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat ini punya sejarah panjang sebelum akhirnya dikenal dengan sebutan Depok seperti hari ini.
Nama "Depok" sendiri sebenarnya adalah singkatan,
bukan kata yang berdiri sendiri. Meski demikian, tampaknya banyak penduduk Kota
Depok sendiri yang tidak tahu kepanjangannya.
Sejarah mencatat Depok pernah menjadi pusat Residensi
Ommelanden van Batavia atau Keresidenan Daerah sekitar Jakarta berdasarkan
Keputusan Gubernur Batavia per tanggal 11 April 1949.
Adapun nama Depok
berasal dari singkatan bahasa Belanda, yakni De Eerste Protestantse Organisatie
van Kristenen. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut memiliki arti
"Organisasi Kristen Protestan Pertama". Bagaimana Depok berkaitan
dengan sejarah Kristen Protestan tak terlepas dari peran Cornelis Chastelein.
Foto : Cornelis Chastelein.
Chastelein adalah pegawai VOC selama 20 tahun. Dia memulai
karir di kongsi dagang itu sejak usia 20-an. Dari semula hanya pengawas gudang,
karirnya perlahan naik hingga dia dipercaya menjadi saudagar utama dan anggota
Dewan Kota Batavia.
Selama bertugas, pria kelahiran 1658 itu mendapat gaji
bulanan sekitar 200-350 gulden. Angka tersebut cukup besar pada masanya. Tapi,
dia jadi salah satu orang yang cukup pintar mengelola uang.
Alih-alih dihamburkan, gaji tersebut dialihkan untuk membeli
tanah di sekeliling Batavia. Dalam Depok Tempo Doeloe (2011) dijelaskan, tanah
pertama yang dibelinya pada 1693 itu berada di kawasan Weltevreden yang kini
disebut Gambir. Tanah tersebut lantas difungsikan untuk menanam tebu.
Dua tahun setelahnya, Chastelein memutuskan pensiun dari VOC
dan kemudian membeli lagi tanah di Serengseng yang kini disebut Lenteng Agung.
Di lahan baru inilah dia menikmati masa pensiun dan menjalani kehidupan baru
sebagai tuan tanah. Di sana dia membangun rumah besar dan banyak membawa orang
tak hanya keluarga.
Total budak yang dibawa mencapai 150 orang. Para budak
umumnya dari luar Jawa dan kemudian di antaranya menganut agama Kristen. Tak
seperti orang lain, Chastelein sangat menghormati budak-budaknya. Sebagai
seorang Kristen yang taat, dia memahami persoalan hak asasi manusia, sehingga
sangat menyayangi mereka. Atas dasar ini pula, dia membebaskan semua budaknya.
Para bekas budak yang kemudian jadi anak buah lantas ditugaskan Chastelein mengelola rumah besar di Serengseng. Selain itu mereka juga ditugaskan mengurus perkebunan yang baru saja dibelinya di kawasan Mampang dan Depok. Seluruh lahan itu menghasilkan tanaman penghasil cuan, seperti tebu, lada, pala dan kopi.
Semua itu lantas membuat Chastelein makin kaya raya. Dia
jadi salah satu orang terkaya di Batavia (kini Jakarta) sebelum akhirnya tutup
usia pada 28 Juni 1714. Setelah wafat, orang-orang tak ribut kemana perginya
harta dan tanah miliknya.
Sebab, tiga bulan sebelum wafat, tepat pada 13 Maret 1714,
dia sudah menuliskan surat wasiat. Bahwa dia ingin seluruh hartanya tak hanya
dibagikan kepada keluarga, tapi juga dibagikan gratis kepada para bekas
budak-budaknya yang dimerdekakan. Tujuannya supaya mereka bisa mandiri dan
sejahtera.
Plus, dia juga ingin tanah tersebut berfungsi sebagai tempat
penyebaran agama Kristen di Batavia. Amanah ini kemudian membuat para bekas
budak Chastelein mendirikan komunitas bernama De Eerste Protestantse
Organisatie van Kristenen atau Organisasi Kristen Protestan Pertama. Perlahan,
tanah tempat komunitas itu berada berubah nama menjadi Depok, singkatan dari
nama komunitas tersebut. Para anggota komunitas atau keturunannya kelak disebut
sebagai 'Belanda Depok'.
Seiring waktu, Depok tetap menjadi nama wilayah di era
modern sampai sekarang. Hanya saja, berbagai kepanjangan baru bermunculan
terkait asal-usul Depok. Salah satunya ada yang mengartikan Depok sebagai
"Daerah Permukiman Orang Kota." (*TR)